DUMAI — Isu dugaan pencemaran udara di kawasan PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Regional 1 Cabang Dumai atau Pelindo Dumai kembali mencuat ke ruang publik. Namun, kalangan praktisi hukum menilai tudingan tersebut perlu disikapi secara objektif dan proporsional berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, bukan semata-mata persepsi masyarakat.
Praktisi hukum asal Riau, Dr (Cand) Eko Saputra, S.H., M.H., menegaskan bahwa Pelindo sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki standar operasional yang ketat, termasuk dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Menurutnya, setiap aktivitas bongkar muat di pelabuhan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Pelindo Dumai merupakan pelabuhan resmi yang diawasi langsung oleh pemerintah. Setiap kegiatan bongkar muat diwajibkan memiliki dokumen UKL-UPL atau bahkan AMDAL bila skalanya besar. Jadi, tuduhan pencemaran udara tanpa data laboratorium atau hasil uji baku mutu adalah klaim yang tidak berdasar secara hukum,” ujar Eko, Sabtu (19/10/2025).
Eko menjelaskan, Pasal 68 ayat (1) UU PPLH mewajibkan setiap pelaku usaha menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah pencemaran. Namun, Pasal 69 ayat (2) menegaskan bahwa pembuktian adanya pencemaran harus berdasarkan hasil uji kualitas lingkungan, bukan hanya asumsi visual seperti debu atau asap semata.
“Kalau ada warga merasa terganggu oleh debu atau aroma tertentu, hal itu harus diverifikasi melalui uji laboratorium independen yang mengukur kadar debu, SO?, atau partikulat, lalu dibandingkan dengan baku mutu udara ambien nasional,” jelasnya.
Ia menilai pernyataan Executive General Manager (EGM) Pelindo Dumai, Jonatan Ginting, yang menyebut aktivitas bongkar muat tetap aman dan terkontrol, merupakan bentuk tanggung jawab korporasi dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Menurut Eko, sikap tersebut sejalan dengan prinsip Presumption of Compliance, yakni praduga bahwa perusahaan telah memenuhi kewajiban hukum dan teknis sepanjang belum ada bukti sebaliknya dari lembaga berwenang.
Dari sisi administrasi lingkungan, lanjutnya, hanya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi/Kota yang berwenang menentukan ada atau tidaknya pelanggaran lingkungan.
“Kita harus membedakan antara dugaan sosial dan fakta hukum. Dalam negara hukum, kebenaran harus diuji lewat instrumen yuridis, bukan opini publik,” tegas Eko.
Selain itu, Eko juga menyoroti penerapan Good Corporate Governance (GCG) serta sistem K3L (Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan) yang selama ini diterapkan Pelindo. Ia menilai langkah perusahaan membuka ruang komunikasi dan transparansi dengan masyarakat sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL dan Izin Lingkungan.
“Sebagai BUMN strategis, Pelindo Dumai tentu tidak ingin mencoreng citra perusahaan dengan praktik yang melanggar hukum. Namun, publik juga harus bijak. Jika ada dugaan pencemaran, tempuhlah mekanisme resmi ke DLH atau KLHK, bukan membangun opini di media sosial,” ujarnya.
Eko menambahkan, kehadiran Pelindo Dumai justru memiliki peran vital dalam menopang ekonomi daerah dan nasional karena menjadi jalur utama ekspor-impor serta distribusi komoditas strategis seperti CPO, batu bara, dan pupuk.
“Pelindo Dumai telah menjadi urat nadi logistik nasional. Jika ada kekeliruan teknis, tentu bisa diperbaiki secara administratif. Namun jangan langsung divonis sebagai pencemar, karena secara hukum itu tidak adil,” tutupnya.
Sebelumnya, EGM Pelindo Dumai Jonatan Ginting menegaskan bahwa pihaknya terus melakukan langkah-langkah konkret untuk menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
“Kegiatan bongkar muat bungkil di kawasan Pelindo Dumai tetap kami jalankan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan kesehatan masyarakat. Kami juga berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan semua berjalan sesuai aturan,” tegas Jonatan.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa Pelindo Dumai berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas operasional agar semakin ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“Kami berkomitmen melakukan perbaikan berkelanjutan. Jika dalam kegiatan bongkar muat bungkil sawit ditemukan adanya debu berterbangan akibat faktor cuaca, maka kegiatan akan segera kami hentikan sementara,” pungkasnya.***