Pekanbaru, (Riau)-RPC
Komunitas Muslimah Pekanbaru menggelar Majelis Ta'lim Roadshow dengan tema: "Gaya Hidup Tak Sehat Memicu Gangguan Metabolik pada Anak, Tanggung Jawab Siapa?", bertempat di Masjid Baitussalam, Jalan Harapan Utama (Srikandi), Binawidya, Pekanbaru, Sabtu (24/8/2024), pukul 08.30 s/d 11.30 WIB.
Selaku pembicara, dokter Wiwik Rahayu, M.Kes (dokter sekaligus pendakwah), mengangkat tema, gaya hidup tak sehat memicu gangguan metabolik pada anak, tanggung jawab siapa?.
Di kesempatan tersebut Wiwik memaparkan bahwa makan dan minum adalah pemenuhan kebutuhan jasmani (fitrah manusia) untuk mempertahankan hidup. Pemenuhan kebutuhan yang salah akan menimbulkan masalah. Penyebab masalah ini lahir dari sistem kehidupan sekularisme kapitalisme sehingga masyarakat tidak mengaitkan pola konsumsinya sesuai dengan aturan syariat, yang tak hanya halal tapi juga harus baik (thayyib). Thayyib sendiri diartikan sebagai makanan dan minuman yang dihalalkan dan mendatangkan kebaikan kepada manusia, yang berupa kebajikan, kemuliaan, keberkahan dan juga nikmat.
Pola konsumtif yang permisif dan mengikuti tren hanya akan melahirkan konsumen yang berpikir menikmati tanpa memperhatikan halal atau tidak, baik atau tidak. Dan dampak dari sistem kehidupan sekularisme kapitalisme ini, tumbuh subur fenomena orang tua pragmatis yang memberikan makanan kesukaan si anak berupa junk food dengan alasan anak tidak menyenangi makanan real food.
Ditunjang pula dengan keberadaan produsen kapitalistik yang hanya memikirkan keuntungan tanpa memperhatikan halal dan baik (thayyib) atau sebaliknya. Dan keberadaan produsen semacam ini tentu dikarenakan adanya negara sekuler yang abai terhadap pola konsumsi rakyatnya. Dimana negara berlepas tangan dari urusan pola konsumsi masyarakat luas. Pamungkasnya, Wiwik menyayangkan bahwa korban dari semua problematika ini adalah anak-anak yang terpapar makanan tidak sehat.
Kemudian, Wiwik memaparkan solusi yang diajarkan Islam yang terbukti memiliki aturan yang paripurna. Dimana Islam mengatur pola konsumsi sebagaimana yang terdapat di dalam al-qur’an surat al-Ma’idah ayat 88, “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Wiwik menambahkan bahwa kebutuhan makan dan minum harus dipenuhi sesuai aturan syariat, yang mana semua makanan yang akan dikonsumsi harus halal dan baik (thayyib). Halal yang dimaksud adalah terbebas dari segala zat yang telah diharamkan dalam Islam. Segala zat yang diharamkan seperti bangkai, daging babi, darah, hewan yang disembelih dengan nama selain Allah, binatang buas yang kotor dan menjijikkan. Thayyib yang dimaksud adalah bagus (al-Hasan), sehat (al-Mu’afa), dan lezat (al-Ladzidz). Thayyib juga dimaksudkan sebagai sesuatu yang tidak boleh merusak tubuh, merusak kesehatan, merusak akal, dan merusak kehidupan manusia.
Di penghujung kajian muslimah, Wiwik menegaskan bahwa syari’at wajib dijalankan oleh individu, masyarakat dan negara. Sehingga mampu bersinergi mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaannya yaitu beribadah kepada Allah SWT. semata.
Caranya, negara harus melakukan 7 kebijakan sebagaimana yang telah dituntun dalam ajaran Islam. Pertama, negara harus menjamin kesejahteraan warga negara dengan kemudahan mengakses kebutuhan pangan yang aman dan sehat. Dan ini harus sejalan dengan aturan syari’at yang mutlak halal dan baik (thayyib). Kedua, negara harus mengedukasi masyarakat melalui sistem pendidikan. Dimana setiap aktivitas kehidupan manusia harus terikat pada hukum Islam saja.
Ketiga, negara harus memastikan makanan yang diproduksi atau dikonsumsi sesuai standar syariah yaitu makanan harus halal dan baik (thayyib), tidak boleh ada zat yang berbahaya di dalamnya, dan tidak boleh berasal dan bercampur dengan zat yang haram. Keempat, negara wajib menjaga pola konsumsi masyarakat agar tidak over konsumtif dengan menegur rakyatnya yang memiliki perut buncit agar segera menyeimbangkan pola hidup dan pola konsumsinya.
Kelima, negara harus menetapkan undang-undang terkait produksi makanan agar makanan yang beredar tidak sembarang jadi. Keenam, negara harus memberikan layanan kesehatan yang sifatnya sebagai pencegah (preventif) dan kuratif secara gratis kepada seluruh masyarakat. Dan ketujuh, negara harus memberikan sanksi yang tegas kepada siapapun yang melanggar aturan syari’at terkait makanan. Aturan sanksi yang diajarkan Islam jelas memberikan efek jera dan mampu mencegah, yang dikenal dengan istilah Jawabir dan Zawajir.
Penutup, Wiwik menyebutkan ketika negara berperan dengan menetapkan aturan yang sejalan dengan aturan buatan Allah SWT yaitu aturan Islam, maka anak bisa terhindar dari penyakit gagal ginjal, diabetes dan penyakit akibat pola makan yang salah.***(RPC)