Kota Jakarta, (DKI) RPC
Perhimpunan Filantropi Indonesia, Dompet Dhuafa, Belantara Foundation, dan organisasi filantropi terkemuka di Indonesia yang tergabung dalam Klaster Filantropi Lingkungan Hidup dan Konservasi (KFLHK) berkumpul untuk membahas isu mendesak perubahan iklim dan dampaknya bagi negara ini. Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim bertajuk "Mengakselerasi Transisi Hijau: Peran Strategis Lembaga Filantropi di Indonesia" pada Kamis, 21 November 2024.
Simpsoium ini merupakan wadah untuk membahas langkah-langkah konkret dalam mengurangi perubahan iklim dan beradaptasi dengan konsekuensi yang tak terhindarkan. Perubahan iklim adalah isu global yang mempengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Peningkatan suhu di Indonesia dapat berpotensi mencapai 40°C dengan skenario iklim RCP 8.5 atau tanpa melakukan tindakan apapun. Kenaikan suhu akan terjadi dalam kisaran 0,8°C–1,4°C yang diperkirakan terjadi pada tahun
2040-2059.
Dalam pidato utama, Bambang Brodjonegoro, selaku Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset
dan Inovasi Nasional (2019 - 2021) menyampaikan pendanaan perubahan iklim kini semakin mengarah pada konsep keuangan campuran atau blended finance. Transisi energi, sebagai salah satu strategi mitigasi utama, menghadapi dua tantangan besar: tingginya biaya investasi awal dan biaya modal.
Di Indonesia, emisi gas rumah kaca terus menunjukkan tren peningkatan sejak 2010 hingga 2022, sementara biaya investasi untuk energi terbarukan tetap tinggi. Tantangan ini menuntut adaptasi dari pihak terkait, termasuk PLN yang perlu menyesuaikan model pembiayaan agar sejalan dengan transisi energi.
“Di sinilah peran lembaga filantropi menjadi sangat strategis, yaitu memobilisasi pendanaan swasta
dengan skema yang tidak terlalu rumit, seperti hibah, pendanaan konvensional, atau jaminan yang
difasilitasi oleh lembaga khusus maupun lembaga internasional seperti World Bank,” jelas Bambang.
Selain fokus pada mitigasi, filantropi juga berperan penting dalam pendanaan adaptasi perubahan
iklim, yang hingga kini masih jauh di bawah kebutuhan karena tingkat pengembalian yang rendah.
“Filantropi diharapkan dapat melengkapi pendanaan dari sektor swasta dan publik untuk mencegah
dampak yang lebih besar, termasuk hilangnya lahan, jiwa, dan aset lainnya akibat bencana terkait iklim.
Loss and damage fund menjadi penting untuk mendukung komunitas yang tidak dapat menghindari dampak perubahan iklim. Dengan adanya dukungan yang kuat dari filantropi, pendanaan iklim diharapkan tidak hanya berfokus pada mitigasi tetapi juga mendukung adaptasi, rehabilitasi, dan pemulihan, tanpa mengganggu keseimbangan komunitas dan ekosistem yang ada,” tambahnya.
Pada tempat terpisah, Direktur Eksekutif Filantropi Perhimpunan Filantropi Indonesia, Gusman Yahya berharap acara simposium ini dapat menjadi wadah untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan praktik terbaik dalam upaya kita mendorong aksi kolektif yang lebih nyata. Gusman menekankan bahwa aksi kolektif penting sekali menjadi motor penggerak antar pemangku kepentingan untuk saling melengkapi sumber daya masing-masing dan mengakselerasi pencapaian SDGs serta agenda iklim.
“Inisiatif kemitraan multi-pihak tidak harus dilakukan dengan menciptakan inisiatif baru, tapi diharapkan untuk dapat lebih mengoptimalisasi platfrom-platform kerjasama dan jaringan yang sudah ada, dengan lebih menguatkan kordinasi dan tatakelola antar pemangku kepentingan baik
pemerintah, pihak swasta, dan filantropi,” kata Gusman.
Menurut Arif Rahmadi Haryono selaku GM Program Dompet Dhuafa, “kami sebagai lembaga filantropi terus mendorong beragam giat program dalam adaptasi perubahan iklim, mulai pendekatan pelestarian lingkungan secara langsung, pengembangan wilayah ekowisata,
pengembangan kantor ramah lingkungan dan juga mengajak beragam elemen masyarakat dalam
kesadaran dan partisipasi upaya adaptasi perubahan iklim”.
“Perubahan iklim harus kita sikapi secara serius, bergerak dari beragam lembaga Filantropi menjadi acuan bersama dalam mitigasi perubahan iklim. Perlu ada langkah yang nyata dalam menyikapi perubahan iklim ini”, ujar Arif.
Rangkaian sesi Simposium Filantropi untuk Aksi Iklim diinisasi oleh KFLHK turut dihadiri narasumber yang sangat berpengalaman pada bidang lingkungan dan iklim yaitu Guntur Sutiyono; Country Lead Indonesia Climateworks Center, Arif Rahmadi Haryono; General Manager Program
Dompet Dhuafa, Jalal; Chairperson of Advisory Board Social Investment Indonesia, Uminatus Sholikah; Pengurus Puspita Bahari, Alin Halimatussadiah; Kepala Kajian Grup Penelitian Ekonomi Lingkungan, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEB-UI), dan Henriette Imelda selaku Direktur Advokasi Kebijakan Indonesia Research Institute for Decarbonization.***(RPC)