Oleh : Darwis Mohd Saleh
LSM PECINTA ALAM BAHARI
Kota Dumai, (Riau)-RPC
Mulai dari ekspor minyak bumi sejak jaman baholak, sampai ekspor minyak sawit jaman korupsi pajak, hingga ekspor kayu bakau yang membuat hutan mangrove tinggal lendir sekunder dengan tumpur jilatnya yang primer, kota Dumai menjadi kota BURUK RUPA berumpama pepatah yang berkata "Indah Kabar Dari Rupa"

Kota yang memiliki tekstur mirip Venezia ini yang berawa-rawa dan gemerlap cahaya kawasan dengan kilang minyak bumi dan sawit, memberi kesan kota ini sejahtera seumpama Dubai. Namun bila benar mencepuh kedalam, kedaratan jalan daratnya, maka betapa mengerikan jalan-jalan menuju daerah industrinya bak parang algojo memenggal masyarakatnya nan mengalami mati kecelakaan nan sangat tinggi.
Tak siang tak malam tak pagi nyawa melayang bak daun gugur di musim semi meregang terserempet mobil-mobil tangki dan kontainer yang bikin ngiler ekonomi.
Amat disayangkan sekali nyawa melayang diatas jalan dengan status milik birokrasi tikus. Artinya tak semua jalan itu milik area industri, ada yang disulap lantaklah secara administrasi birokrasi yang bobrok, seakan pejabat pengeluar mandat berotak berok, tak memikirkan kenapa ekonomi masyarakat justru semakin terok diantara berjubalnya truk-truk pengangkut minyak, gas dan barang kilang tampak menyebok sepanjang hari, disitu pula harapan masyarakat mati suri semu dalam kekompakkan memajukan ekonomi negeri kota ini.
Penjaja air putih, air tebu, air teh es, merangsek ke tengah-tengah badan jalan baik jantan maupun perempuan disepanjang jalan seakan siap dilanyak atau setidaknya macam pemalak ditengah tambak diseanjang pajak (jalan red).
Interaksi sosial masyarakat atau nilai selebritas penduduk setempat macam tak sempat atau macam otak sudah beku tak sempat memikirkan bagaimana memikirkan empat sehat lima sempurna. Seakan tahun perjuangan 45 belum lagi bergarit dari kesan jejak kota ini, sulit dan perit hidup tak nyaman nyawa di badan. Hari-hari berdebu, hari-hari bising, hari-hari lengit karena panas bedengkang, hari-hari melintas jalan berlobang, hari-hari diujung minggu masyarakat merasa lelah untuk pergi berkelah (selebritas) sebab ekonomi membatu macam kena kutuk tersumpah. Orang-orang jadi berpuak-puak antara yang terus berharap dan penjilat-penjilat baru dan bersekutu dalam seteru jurang kesempatan yang terbelah antara jalan yang tulus dengan yang ambil jalan tikus.
Tak pelah lagi membuncahnya amarah di tahun ke 80 kemerdekaan di kota ini bak kakek Bertorek (telinga bernanah) akibat dengar pajak dilakukan dengan pat gulipat (disulap) dan izin-izin licin tandas dengan uang pelicin ke bank saku pribadi, bau torek melengas bebas dihidung masyarakat akibat main pantat (belakang) pengelolaan keistimewaan jabatan kekuasaan. Nepotisme terlihat dari bentuk tampilan yang diukur dengan kepemilikan kendaraan, rumah mewah walau dari duit tak semenggah, beribadah sedekah 'ngan' tidak dibawah-bawah panji tradisi seremoni.
Kota tepi laut yang bernama Dumai ini tak begitu ramai dibicarakan oleh warganya lagi, sebab para pendatang pun segan ikut nimbrung, sebab disini tempat mereka cari makan dan tampil bak pengayom padahal berpenyakit sindrom akut zaman sandiwara dunia berperan sebagai PREDATOR EKSPOR di kota Dumai dimana tempat laluan batang EKSPOR migas sekaligus mengekspor kebaikan hati masyarakatnya yang diam dalam permainan intrik kotor perizinan tata ruang dan tata uang.(RPC)
Dumai kota TorEk (predaTor EKspor)
I am sorry leluhur my Hero.@ElangWaktu.